Jumat, 18 November 2016

Pengamanan PILKADA Serentak 2017 dan Aksi Anti Penista Agama (kasus Ahok) Dikelola Negara Untuk Kepentingan Militerisasi Indonesia di West Papua

Opini ;
Oleh - MATA RAKYAT

Pengamanan PILKADA Serentak 2017 dan Aksi Anti Penista Agama (kasus Ahok) Dikelola Negara Untuk Kepentingan Militerisasi Indonesia di West Papua
Berbagai Peristiwa Kejahatan Negara Terhadap Rakyat Papua

Mencermati dinamika politik Indonesia kususnya di Tahun 2016, berbagai pernyataan elit negara Indonesia baik sipil, kepolisian maupun militer tentang situasi negra hanyalah bagian dari penggiringan opini publik terhadap situasi sesungguhnya yang sedang terjadi.

Sejak Tahun 2015, perkembangan isu West Papua yang kian gencar dikampanyekan di level regional dan internasional, terlebih setelah diterimanya ULMWP sebagai observer di forum MSG, Indonesia berupaya melokalisir isu West Papua. Dalam konteks nasional Indonesia, isu West Papua benar - benar jauh dari pengetahuan rakyat indonesia. Kendatipun demikian, upaya pemerintah Indonesia untuk membungkam isu West Papua semakin sulit di saat MSG berkomitmen menetapkan keanggotaan penuh bagi ULMWP dan PIF menyepakati penangan konflik West Papua Vs Indonesia kepada mekanisme PBB. Dan sikap PIF ini tebukti dengan diangkatnya isu West Papua oleh 7 negara Pasifik pada Sidang Umum PBB September 2016.

Agar elit negara bisa tetab membungkan isu West Papua dari pandangan publik, maka dirumuskan beberapa isue dan skenario guna pengalihan opini publik nasional dan internasional. Secara internal, kepolisian dan militer disiagakan ( baca : http://www.beritakita.id/20760/news/waduh-jokowo-kumpulkan-tni-dan-polri-tanda-negara-siaga-satu/ ). Berdalih penangan keamanan PILKADA, kepolisian dan militer disiagakan, terutama konsentarasi wilayah West Papua. Berbagai operasi cipta konflik horizontal dilakukan untuk melegitimasi mobilisasi kepolisian dan militer ke West Papua ( contoh konflik Manokwakri diantara berbagai kasus lainnya diseluruh wilayah west papua http://tabloidjubi.com/artikel-1244-tentang-insiden-manokwari-wiranto--itu-kapan-saja-bisa-terjadi.html).

Tidak cukup samapai disitu, opini publik nasional dan internasional digiring pula melalui propaaganda penistaan agama. Mencermati aksi Jilid I 14 Oktober 2016, aksi Jilid II 4 November 2016, dan rencana aksi jilid III 25 November 2016, maka tergambar alur kepentingan negara dalam pengalihan opini publik dari isu West Papua, antara lain :

@ Aksi Jilid I 14 Oktober 2016, publik nasional dan internasional disuguhkan opini penistaan agama dan bahaya gerakan radikal (ISIS), sedang di sisi lain :

# tanggal 14 Oktober 2016 presiden RI melantik menteri dan wakil mentri ESDM yang sesungguhnya patut dipertanyakan oleh rakyat indonesia
# tanggal 14 Oktober 2016 dilakukan Seminar Nasional Papua Road Map Jilid - II
# tanggal 14 Oktober 2016 KOMNAS HAM Indonesia mengirim laporan HAM indonesia ke PBB yang tertunda sejak tahun 2010 untuk kepentingan UPR

@ Aksi Jilid II 4 November 2016, publik nasional dan internasional disuguhkan opini penistaan agama dan bahaya gerakan radikal (ISIS), sedang di sisi lain :

# tanggal 6 - 8 November 2016, presiden Indonesia dijadwalkan menghadiri beberapa forum bilateral dan regional di Australia, yang bertujuan membahas berbagai isu bilateral dan regional, diantaranya isu west papua di Pasifik. Pada akhirnya presiden Indonesia membatalkan kunjungan tersebut dengan dalih keamanan negara pasca aksi jilid II tanggal 4 November 2016.

@ Aksi Jilid III 25 November 2016, publik nasional dan internasional disuguhkan opini penistaan agama dan bahaya gerakan radikal (ISIS), sedang di sisi lain :

# aksi Jilid III yang direncanakan tanggal 25 November 2016, bahkan belakangan disebut tanggal 2 Desember 2016, ternyata Indonesia akan mendapat kunjungan Pedana Menteri Belanda yang direncakan berkunjung ke indonesia 21 - 24 November 2016.

Berkilas dari histori operasi intelegen Indonesia, maka jelas, konsep operasi intelegen Indonesia warisan Ali Moertopo begitu kental mengalir dan dipraktekan oleh penerusnya saat ini. Berbagai komponen rakyat diprovokasi, suku, ras, bahkan agama dipolitisir - dibenturkan demi kepentingan harta, jabatan dan status quo kekuasaan.

Target Militerisasi :

1. Bungkam ruang demokrasi
2. Hancurkan perjuangan rakyat sipil
3. Langgengkan status quo kekuasaan


h


Minggu, 06 November 2016

Laporan YALE UNIVERSITY - MEMBUKTIKAN Pembunuhan massal DI PAPUA BARAT

KESIMPULAN
Sejak Indonesia menguasai Papua Barat, orang-orang Papua Barat telah menderita pelanggaran terus-menerus dan mengerikan di tangan pemerintah. Militer dan pasukan keamanan Indonesia telah terlibat dalam kekerasan yang meluas dan pembunuhan di luar hukum di Papua Barat.
Mereka telah mengalami laki-laki dan perempuan Papua untuk tindakan penyiksaan, penghilangan, pemerkosaan, dan kekerasan seksual, sehingga menyebabkan tubuh serius dan membahayakan jiwa. eksploitasi sumber daya yang sistematis, penghancuran sumber daya Papua dan tanaman, wajib (dan sering terkompensasi) tenaga kerja, program transmigrasi, dan relokasi paksa telah menyebabkan kerusakan lingkungan meresap ke wilayah tersebut, merusak praktek subsisten tradisional, dan menyebabkan penyakit luas, kekurangan gizi, dan kematian antara orang Papua Barat.
tindakan seperti itu, secara keseluruhan, tampaknya merupakan pengenaan kondisi kehidupan dihitung untuk membawa kehancuran Papua Barat. Banyak dari tindakan ini, secara individu dan kolektif, jelas merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah hukum internasional. Selanjutnya, Papua Barat, obyektif, dan di mata penganiaya Indonesia mereka, tampaknya merupakan sebuah kelompok seperti yang didefinisikan oleh Pasal II Konvensi Genosida.
Dalam analisis akhir, apakah jumlah tindakan yang dilakukan oleh orang Indonesia terhadap orang Papua Barat naik ke tingkat genosida ternyata sebagian besar pada pertanyaan apakah tindakan ini dilakukan dengan mens rea diperlukan atau maksud untuk menghancurkan kelompok Papua Barat. Jelas, beberapa pelaku genosida meninggalkan catatan yang jelas tentang maksud mirip dengan pernyataan eksplisit Hitler niat untuk menghancurkan orang-orang Yahudi atau hati-hati meletakkan rencana pemerintah Hutu Rwanda untuk membersihkan Rwanda dari semua etnis Tutsi.
Biasanya, niat harus disimpulkan dari tindakan pelaku ', dianggap sebagai keseluruhan, bersama dengan bukti lain yang tersedia bahwa kelompok korban ditargetkan seperti itu. Dalam kasus Papua Barat, setiap inferensi seperti selalu tetap tentatif mengingat kesulitan dalam pengadaan data kualitatif atau kuantitatif komprehensif tentang pelanggaran hak asasi manusia Indonesia di Papua Barat, dulu dan sekarang. Namun, bukti-bukti sejarah dan kontemporer ditetapkan di atas sangat menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah melakukan perbuatan terlarang dengan tujuan untuk menghancurkan orang Papua Barat seperti, melanggar 1948 Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida dan adat larangan hukum internasional konvensi ini mewujudkan.

Sabtu, 29 Oktober 2016

Papua Jadi Bahasan Utama Indonesia dan Australia di Bali

menlu-dan-menhan-australia-indonesia-bahas-tiga-isu-ini-di-bali

Christie Stefanie & Prima Gumilang, CNN Indonesia Kamis, 27/10/2016 15:49 WIB
Sebarkan:      
Papua Jadi Bahasan Utama Indonesia dan Australia di BaliUnjuk rasa Aliansi Mahasiswa Papua. Persoalan Papua akan dibahas bersama oleh Indonesia dan Australia. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Persoalan Papua akan menjadi pembahasan utama Indonesia dan Australia dalam forum 2+2 antarkedua negara di Bali. Dialog 2+2 yang bertujuan untuk mempererat kerja sama kedua negara ini melibatkan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan masing-masing negara.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan, pada forum itu ia akan menyoroti 'tangan-tangan' negara lain yang mencampuri urusan Papua.

"Saya sampaikan kepada Australia, menegur saja, saya sudah bilang dari awal, saya tidak pernah ikut campur urusan negara lain. Negara lain juga tidak perlu ikut campur urusan kita (Indonesia)," kata Ryamizard di Kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (27/10).

Papua sempat menjadi sorotan dunia dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa September lalu, saat enam kepala negara Pasifik mempertanyakan kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang terus terjadi di wilayah paling timur Indonesia itu.

Mereka yang mengkritisi persoalan HAM di Papua ialah kepala negara Kepulauan Solomon, Republik Vanuatu, Republik Nauru, Republik Kepulauan Marshall, Kerajaan Tonga, dan Tuvalu.

Itu kali pertama Papua dibahas di PBB setelah 1969, yang berakhir dengan penyerahan Papua secara resmi kepada Indonesia setelah Penentuan Pendapat Rakyat menghasilkan bergabungnya Papua dengan Indonesia.
Baca juga:Keluarga Korban Paniai Desak PBB Datang ke Papua
Selain soal Papua, Indonesia juga akan mengangkat topik Laut China Selatan. Indonesia dan Australia akan bersama-sama menyuarakan kepada negara-negara di sekitar Laut China Selatan untuk meredam ketegangan dan menjaga stabilitas kawasan.

Topik terorisme juga tak akan luput dibahas. Ryamizard tak menampik kemungkinan kerja sama antara Indonesia dan Australia untuk memerangi ISIS, terutama untuk mengantisipasi simpatisan ISIS yang kembali ke negara masing-masing dari Suriah.

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto sebelumnya mengatakan, Australia siap membantu Indonesia memerangi terorisme. Hal itu ia sampaikan usai bertemu Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop kemarin .

Pertemuan 2+2 antara Indonesia dan Australia kali ini merupakan yang keempat. Pertemuan pertama digelar di Canberra pada 2012, pertemuan kedua di Jakarta pada Desember 2013, dan pertemuan ketiga di Sydney pada Desember 2015.
Baca juga:Wiranto dan Luhut Bawa Dubes Australia Kunjungi Papua
Rabu (26/10), Wiranto mengakui pemerintah belum menuntaskan penyelesaian sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Oleh sebab itu ia memperpanjang masa kerja Tim Terpadu Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Papua hingga setahun ke depan.

"Ya belum selesai, masak (kerja tim) dihentikan. Targetnya sampai (kasus) selesai," kata Wiranto di kantor Kemenko Polhukam.

Matius Murib (kanan), anggota Tim Terpadu Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM di Papua. (CNN Indonesia/Anggi Kusumadewi) Tim Terpadu Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Papua dibentuk pada Mei 2016 semasa Menko Polhukam dijabat Luhut Binsar Pandjaitan. Tim yang diketuai Profesor Seno Aji tersebut seharusnya berakhir dua hari lalu, Selasa (25/10). Namun mereka pun merasa perlu melanjutkan pekerjaan setidaknya sampai setahun lagi.

Tim Terpadu Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Papua yang bekerja di bawah koordinasi Kemenko Polhukam itu bertugas menghimpun data, informasi, dan menganalisis sejumlah kasus pelanggaran HAM di Papua. Laporan tim akan diserahkan kepada Presiden.

Matius Murib, aktivis HAM Papua yang menjadi anggota tim terpadu, mengatakan selama ini tim belum memberikan hasil nyata. Mereka lebih banyak menggelar rapat koordinasi untuk mendengar perkembangan penyelidikan tiap kasus, termasuk penjelasan dari institusi terkait seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Meski demikian, tim menyatakan telah membuat kriteria pelanggaran HAM secara transparan, terukur, dan tidak berpihak. Dari parameter itu, tim menyimpulkan terdapat 13 kasus di Papua yang masuk daftar pelanggaran HAM. Tiga kasus di antaranya digolongkan sebagai pelanggaran berat HAM, yakni Peristiwa Wasior pada 2001, Peristiwa Wamena pada 2003, dan Peristiwa Paniai 2014.

Ketiga kasus tersebut dinyatakan sudah selesai penyelidikannya dan sudah memiliki bukti hukum. Bahkan, berkas kasus telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung.

Namun terdapat perbedaan pendapat antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung. Komnas HAM menginginkan agar kasus tersebut dibawa ke pengadilan dengan menggunakan UU Pengadilan HAM, sedangkan Kejaksaan Agung ingin proses pengadilan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) biasa.
Baca juga:Wajah Muram Papua di Tangan Jokowi
Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Papua juga mendesak agar 10 kasus lainnya diselesaikan lewat jalur hukum dan politik. Tim meminta Kejaksaan Agung mempercepat proses hukum kasus-kasus itu dan segera melakukan gelar perkara.

“Lakukan penegakan hukum sesuai sistem yang berlaku, dan upayakan langkah politik lewat DPR RI untuk menetapkan apakah kasus-kasus yang terjadi sebelum tahun 2000 masuk kategori pelanggaran HAM atau kriminal biasa,” kata Matius. (agk)

Jumat, 28 Oktober 2016

Babak Baru Persoalan Papua di PBB

Ilustrasi oleh Alit Ambara (Nobodycorp)

PERSOALAN Papua di PBB kini memasuki babak baru. Bukan saja karena telah ada tujuh negara sebagai subjek hukum internasional telah membawanya ke Sidang Majelis Umum sebagai persoalan bersama bangsa-bangsa, tetapi juga karena fokusnya bukan lagi sebatas masalah pembangunan dan hak asasi manusia, tetapi juga hak penentuan nasib sendiri (self-determinasi) dan pemerdekaan dari kolonialisme (dekolonisasi).
Apa sebenarnya yang sudah dan sedang terjadi di dan terkait Papua? Mengapa orang Papua mengatakan Indonesia sebagai kolonial dan berjuang untuk memerdekakan diri? Dan bagaimana dampak solidaritas bangsa-bangsa terhadap perjuangan orang Papua pada dinamika baru di Papua dan Indonesia pada umumnya?

Papua dan PBB
Walaupun Papua sudah lama menjadi perhatian PBB, namun fokus selama ini hanya sebatas pada kerangka pembangunan dan HAM, dan bukan hak self-determinasi dan dekoloniasi.
Selama lebih dari satu dekade terakhir, berbagai lembaga PBB hadir di Papua untuk bermacam-macam proyek terkait dengan agenda Millenium Development Goals (MDGs). Mereka mengurus masalah seperti kemiskinan, good-governance, HIV/AIDS, kekerasan gender, dan masalah surplus kependudukan. Agenda MDGs itu cenderung steril dan terisolasi dari dinamika ekonomi dan politik Papua, terutama masalah ketidakadilan, kekerasan politik, dan pencaplokan sumber daya. Mereka cenderung melihat orang Papua semata-mata sebagai orang miskin yang harus ditolong dengan proyek-proyek. Mereka mengidap penyakit laten yang oleh Antropolog James Ferguson (1997) disebut ‘mesin-mesin anti politik’ (anti-politics machine) karena berkutat pada proyek-proyek teknis dan teknikalisasi kebijakan, tanpa mempedulikan aspek ekonomi politik dari masalah yang ada. Mereka juga abaikan sudut pandang masyarakat setempat dalam melihat masalah dan mencari solusi atas masalah-masalah itu.
Pada era Orde Baru, PBB juga aktif mendukung agenda pembangunan Indonesia di Papua, baik pada level intervensi kebijakan maupun proyek-proyek. Misalnya, PBB dan Bank Dunia mendukung program transmigrasi rezim Soeharto, yang mengakibatkan transisi demografi yang massif di mana jumlah penduduk non-Papua sekarang melampaui jumlah penduduk asli. Yang paling kontroversial adalah bahwa UNDP sudah menyusun “Desain Pembangunan untuk Irian Barat” dan menyerahkannya kepada Pemerintahan Soeharto pada tahun 1967-1968, setahun sebelum Papua menjadi bagian dari Indonesia lewat proses Penentuan Pendapat Rakyat (atau the Act of Free Choice) yang kontroversial itu pada tahun 1969.[1] Hal ini merupakan salah satu bukti tak terbantahkan bahwa PBB (atau setidaknya sejumlah negara yang dominan dalam PBB) sudah memiliki sikap berpihak pada Indonesia sebelum penduduk Papua diberi kesempatan untuk menentukan pendapatnya lewat Pepera.
Berbagai studi sejarah (Saltford 2006, Droglever 2010)[2] telah mengungkap dengan terang benderang bagaimana manipulasi Pepera oleh Indonesia terjadi di depan mata, dibiarkan, dan kemudian disahkan oleh PBB sendiri. Konstelasi kuasa negara-negara besar dalam konteks Perang Dingin membuat PBB menyangkal prinsip ‘hak penentuan nasib sendiri sebagai hak asasi manusia’ yang ada dalam Piagam PBB. Kendati kontroversial dan menuai banyak protes dari Orang Papua, serta dipertanyakan oleh 30 negara yang memilih ‘abstain’, PBB akhirnya mengesahkan hasil Perjanjian antara Belanda dan Indonesia tentang status Papua Resolusi No. 2504 dalam Sidang Majelis Umum PBB pada tahun 1969. Resolusi yang sama juga menegaskan dukungan lembaga-lembaga PBB, serta pemerintahan Belanda, bagi pemerintah Indonesia untuk apa yang disebut ‘pembangunan ekonomi dan sosial di Papua Barat’.[3] Studi Saltford dan Drooglever mengarah kepada kesimpulan bahwa apa yang semula dimaksudkan sebagai ‘the Act of Free Choice’ bagi orang Papua dalam kenyataannya menjadi ‘the Act of No Choice’, dan bahwa dalam hal ini PBB telah melakukan sebuah pengkianatan (betrayal), bukan saja terhadap orang Papua tetapi juga kepada prinsip universal PBB sendiri akan self-determinasi sebagai bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia.
Menariknya, berbagai elemen kritis dan kelompok perjuangan emansipasi rakyat Papua tidak menaruh minat pada agenda-agenda pembangunan lembaga PBB dan terus mempersoalkan manipulasi Pepera itu sebagai salah satu akar utama kompleksitas persoalan Papua dalam konstelasi politik internasional sekarang ini.
Pada saat yang bersamaan, berbagai kelompok advokasi hak asasi manusia, baik pada tingkat lokal, regional, maupun trans-nasional, terus melaporkan kondisi HAM di Papua dalam berbagai forum PBB. Mereka melakukan dokumentasi dan distribusi informasi, serta menunjukkan kepada publik dalam negeri dan internasional bahwa pelanggaran hak asasi manusia di Papua tidak hanya sebatas pada manipulasi proses referendum pada tahun 1969, tetapi tetap terjadi hingga hari ini. Dimensinya pun luas, yaitu kegagalan dalam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya, serta pelanggaran hak-hak sipil dan politik.
Dalam dua kali Universal Periodic Review (UPR) atas Indonesia (2008 dan 2012) Indonesia mendapat sorotan tajam. UPR adalah mekanisme PBB untuk mengevaluasi negara-negara anggota akan kinerja mereka dalam pelaksanaan berbagai standar HAM internasional. Selain dukungan dari negara-negara di Pasifik, dalam UPR 2012, setidaknya ada 12 negara yang menyoroti kondisi HAM di Indonesia, terutama di Papua. Yaitu, Korea Selatan, Inggris, Amerika Serikat (AS), Swiss, Kanada, Prancis, Jerman, Jepang, Meksiko, Selandia Baru, Australia dan Norwegia. Kendati ditangkis delegasi Indonesia dengan pembelaan diri dan janji-janji perbaikan, Indonesia tidak dapat menghindar dari sorotan bangsa-bangsa ini di forum PBB.[4]

Solidaritas Melanesia
Tidak membaiknya kondisi HAM di Papua, serta praktik impunitas yang semakin menjadi-jadi dalam hukum dan politik Indonesia dewasa ini, membuat rakyat Papua kehilangan harapan pada kemungkinan perbaikan situasi HAM oleh pemerintah Indonesia. Mereka lantas mencari solidaritas di masyarakat dan negara serumpun Melanesia di Pasifik Selatan.
Ikatan dengan masyarakat Pasifik bukan hanya ikatan diplomatik dan ekonomi. Papua dan negara-negara Pasifik adalah satu rumpun kebudayaan Melanesia. Selain itu bangsa-bangsa Pasifiklah yang menerima ribuan pengungsi dari Papua yang harus melarikan diri karena alasan politik pada masa-masa pasca-Pepera. Ikatan solidaritas itu begitu kuat, melampaui ikatan ekonomi (sumbangan finansial) dan hubungan diplomatik yang hendak dibangun Pemerintah Jakarta untuk meredam solidaritas itu.[5]
Pada sayap diplomatik, ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) telah diterima menjadi bagian dari Melanesian Spearhead Group (MSG), kendati belum menjadi anggota penuh. MSG merupakan organisasi politik regional yang menempatkan Indonesia dan ULMWP atau bangsa Papua Barat dalam posisi sama secara politik. Selain itu, melalui koalisi Pasifik untuk West Papua (Pacific Coalition for West Papua), negara-negara Pasifik menggalang solidaritas untuk agenda HAM dan Self-determinasi di Papua Barat.
Buah dari solidaritas itulah yang kita saksikan pada sidang Umum PBB sesi ke-71 tahun ini. Tujuh negara di Pasifik Selatan, masing-masing lewat Perdana Menteri dan Presidennya, menyampaikan keprihatinan mendalam atas situasi HAM di Papua selama lebih dari lima puluh tahun menjadi bagian dari Indonesia.[6]
Secara terus-terang tanpa bahasa diplomasi yang terbelit-belit, mereka mengecam keengganan Indonesia memenuhi kewajiban melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi orang Papua sebagaimana diatur oleh hukum internasional. Mereka juga menegaskan kembali permintaan untuk mengirim Tim Pencari Fakta dari Forum Kepulauan Pasifik (PIF) dan meminta PBB untuk melakukan intervensi dengan memaksa Indonesia menerima kehadiran para Pelapor Khusus (Special Rapporteurs) PBB yang selama ini ditolak kehadirannya di Papua oleh Indonesia.

papua-1
Para pemimpin Pasifik di Sidang Umum PBB ke-71, 2016. Foto diambil dari www.tabloidjubi.com

Kembalinya Agenda Penentuan Nasib Sendiri
Lebih progresif lagi, para pemimpin negara-negara Pasifik itu menyoroti akan sejarah dan politik dari masalah HAM di Papua, yaitu manipulasi proses penentuan nasib sendiri rakyat Papua lewat proses Pepera (The Act of Free Choice) yang kontroversial pada tahun 1969.
Dalam bahasa PM Kepulauan Salomon, “Pelanggaran HAM di Papua dan usaha untuk mendapatkan hak penentuan nasib sendiri adalah dua sisi dari satu koin yang sama”. Dan bahwa pelanggaran HAM itu merupakan akibat dari upaya Indonesia untuk menekan gerakan penentuan nasib sendiri orang Papua.[7]
Gelombang solidaritas Pasifik ini sekaligus menyasar manipulasi yang turut difasilitasi oleh PBB sendiri dalam proses dekolonisasi pada tahun 1960-an. Sekali lagi, menurut PM Kepulauan Salomon, “Prinsip kedaulatan adalah hal terpenting dalam semua institusi yang alasan keberadaannya adalah penghormatan terhadap kedaulatan suatu negara. Jika alasan pembenaran kedaulatan itu berdasar pada rangkaian keputusan yang masih perlu dipertanyakan kebenarannya, maka ada alasan untuk menantang keabsahaan argumen kedaulatan, dalam hal ini terkait dengan Perjanjian New York dan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969.”
Kita ketahui, tujuh negara Pasifik tidak hadir dalam pengesahan itu, karena mereka sendiri belum merdeka. Besar kemungkinan, 30 negara yang abstain dalam Sidang Majelis Umum PBB pada tahun 1969 akan ikut serta mendukung suara negara-negara Pasifik untuk peninjauan kembali status dekolonisasi Papua Barat.

Titik Lemah Indonesia
Bagi publik Indonesia, terutama kaum ultra-nasionalis, diangkatnya persoalan Papua oleh negara-negara Pasifik dalam Sidang Umum PBB dilihat semata-mata sebagai sebuah ganggunan kedaulatan. Mereka mengganggap bahwa integrasi Papua ke dalam wilayah NKRI, betapa pun terjadi lewat proses-proses yang tidak sesuai standar hukum internasional, sudah tidak dapat diganggu-gugat lagi. Dengan kata lain, mereka menganggap bahwa Papua sudah merdeka dengan menjadi bagian dari Indonesia. Dekolonisasi bangsa Papua dianggap sudah rampung dengan peralihan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia.
Pada babak baru persoalan Papua ini, Kelompok “NKRI harga mati” ini berhadap-hadapan dengan kelompok masyarakat Papua yang justru melihat integrasi dengan Indonesia sebagai aneksasi (penggabungan paksa), dan bahwa penguasaan Indonesia atas Papua adalah kelanjutan dari kolonialisme.
Gerakan emansipasi Papua ini menaruh harapan pada gelombang dekolonisasi yang belum berlalu. Setelah Timor Leste pada 1999 dan Sudan Selatan pada 2011, pada tahun 2018 Kaledonia Baru akan menjalani referendum di bawah pengawasan PBB untuk memilih apakah mereka akan tetap berada di bawah koloni Prancis atau merdeka.[8]
Negara-negara yang bersolidaritas dengan Papua di Pasifik tampaknya menaruh harapan, sama seperti orang Papua, bahwa Papua akan turut serta dalam gelombang dekolonisasi itu. Langkah awalnya adalah dengan meninjau kembali proses-proses Pepera yang kontroversial itu dan membicarakan Papua masuk kembali ke dalam daftar PBB untuk wilayah dekolonisasi.
Jelaslah di sini bahwa agenda penentuan nasib sendiri dan dekolonisasi kembali menjadi fokus persoalan Papua di PBB. Dan bahwa solidaritas negara-negara di Pasifik, bukan lagi sekadar solidaritas untuk para korban pelanggaran hak asasi manusia yang biasa. Melainkan solidaritas dekolonial yang diperjuangkan lewat mekanisme-mekanisme yang dimungkinkan oleh kesepakatan PBB. Selain pelanggaran hak asasi yang umum, solidaritas ini menyasar juga akar historis dan politik dari situasi di Papua, yaitu pelanggaran hak penentuan nasib sendiri yang menyebabkan kolonialisme terus bercokol di Papua.
Dalam hak jawabnya terhadap pernyataan negara-negara Pasifik pada Sidang Umum PBB, Indonesia menuduh negara-negara Pasifik memakai forum PBB untuk mengintervensi kedaulatan Indonesia dan mengklaim diri telah memenuhi semua standar HAM dan melakukan pembangunan di Papua.
Indonesia menyangkal adanya pelanggaran HAM di Papua dengan menegaskan agenda-agenda pembangunan yang sudah sedang dilakukan.
Namun, sayangnya, Indonesia tidak dapat menyembunyikan kenyataan buruknya situasi hak asasi manusia di Papua. Hingga hari ini tidak ada satu pun kasus pelanggaran HAM di Papua yang diproses tuntas termasuk yang sudah diselidiki Komnas HAM seperti kasus Biak (1998), Abepura (2000), Wamena, Wasior (2001), Abepura (2006), dan Paniai (2014).[9]
Penghilangan hidup di Papua bukan saja peristiwa masa lalu, tetapi terus terjadi hingga hari ini. Sejak insiden penembakan di Paniai pada 9 Desember 2014 saja, ada setidaknya 18 remaja Papua yang diterjang peluru aparat keamanan Indonesia.[10]
Indonesia juga sulit memakai argumen pembangunan, bahwa oleh Indonesia Papua sudah dibangun dengan baik. Dan bahwa oleh pemerintahan Joko Widodo sekarang ini, pembangunan itu sudah sedang dipercepat dan diperluas. Sebab penderitaan yang dialami oleh orang Papua, bukan saja karena kurangnya pembangunan (misalnya pendidikan dan kesehatan di pedalaman), tetapi juga terjadi dalam dan melalui pembangunan itu sendiri.
Sudah seringkali disingkap bahwa cara pembangunan dijalankan di Papua itu lebih merupakan bagian dari masalah daripada solusi.[11] Pembangunan hanya menjadi semacam kedok untuk eksploitasi sumber daya alam, pencaplokan tanah dari masyarakat, dan perngrusakan lingkungan. Pembangunan itu juga disertai dengan program transmigrasi dan migrasi sukarela yang menyebabkan transisi demografis yang spektakuler yang mengakibatkan orang Papua kini menjadi minoritas di tanah mereka sendiri.[12] Alih-alih mensejahterakan orang Papua seperti yang dijanjikan, pembangunan itu juga berorientasi pada investasi dan dikuasai oleh elit ekonomi, militer, dan politik yang memburu untung dari kekayaan alam Papua yang berlimpah.
Pencaplokan sumber daya dan invasi penduduk ke wilayah orang asli mengakibatkan apa yang disebut settler colonialism, kolonialisme dengan menguasai tanah dan jumlah penduduk (koloni).
Akibat settler colonialism itu, Indonesia akan kesulitan untuk menjadikan kemajuan kota-kota di Papua sebagai bukti keberhasilan Jakarta membangun Papua. Sebab struktur ekonomi-politik di kota-kota itu justru dikuasasi oleh penduduk Indonesia non-Papua, dan orang Papua hanya terdiri dari 20-40 persen penduduk kota-kota yang bertumbuh pesat itu.
Kendati pemerintahan Jakarta menunjukkan bahwa saat ini Papua sedang habis-habisan dibangun, antara lain dengan pengembangan kawasan industri, tambang, dan perkebunan, serta infrastuktur jalan, pelabuhan laut, dan bahkan kereta api, Indonesia tidak dapat menjawab gugatan orang Papua, ‘untuk siapa dan untuk apa pembangunan itu?’. Karena bagi mereka pembangunan seperti itu justru merupakan ancaman dan bukan solusi.
Selain itu, Indonesia tidak dapat menyembunyikan kompleksitas sejarah masuknya Papua ke Indonesia. Sebelum Pepera pada tahun 1969, Indonesia sudah melakukan invasi militer dan operasi intelijen. Pepera itu sendiri dilakukan di bawah pengawasan aparat keamanan, dan melanggar prinsip referendum yang ditegaskan dalam Perjanjian New York tentang proses referendum itu. Lebih lanjut, berbagai operasi militer telah melahirkan skandal hak asasi manusia yang belum terselesaikan hingga sekarang.
Semua itu menempatkan Indonesia pada posisi sulit. Di satu sisi harus menanggapi solidaritas internasional atas nasib rakyat Papua yang menuntut pembicaraan yang terbuka atas apa yang terjadi di Papua. Di sisi lain, harus secara konkret melakukan perubahan kebijakan pembangunan di Papua, menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, serta mencegah proses pelanggaran baru baik oleh militer maupun oleh korporasi-korporasi nasional dan trans-nasional di Papua.
Celakanya baik militer dan oligarki ekonomi-politik inilah yang sedang bercokol dalam lingkaran kekuasan politik seputar Presiden Indonesia. Mereka itu tampaknya tidak rela bahwa penghormatan hak hidup orang Papua mengganggu bisnis mereka di Papua.
Dalam babak baru persoalan Papua, Indonesia tidak hanya berhadapan dengan emansipasi rakyat Papua serta solidaritas internasional terhadap gerakan mereka. Tantangan sama besarnya justru datang dari mafia ekonomi-politik Indonesia yang sudah sekian lama mengambil untung dari sistem kolonial di Papua.
Dalam babak baru ini, kelompok-kelompok yang berkepentingan seperti itu berpotensi menentang perubahan kebijakan Indonesia di Papua ke arah yang lebih manusiawi. Bahkan ada kemungkinan bahwa kelompok itu akan memengaruhi Pemerintah untuk kembali melakukan pendekatan militeristik untuk meredam emansipasi rakyat Papua serta solidaritas internasional.
Jika itu terjadi, maka semakin rumitlah posisi Indonesia dalam mengurus dirinya sendiri di Papua.

papua-3
Ilustrasi oleh Alit Ambara (Nobodycorp)

Gerakan Emansipasi
Bagaimanapun, aktor utama dalam babak baru persoalan Papua di PBB ini bukanlah negara-negara Pasifik atau Pemerintah Indonesia di Jakarta. Subjek utama adalah rakyat bangsa Papua sendiri.
Merekalah yang di ujung kolonialisme Belanda yang masih bercokol di Papua hingga tahun 1961, telah berjuang dan mempersiapkan negara-bangsa mereka sendiri. Merekalah yang menuntut hak penentuan nasib sendiri yang digagalkan dalam proses-proses yang difasilitasi PBB pada tahun 1963-1969. Merekalah yang selama lebih dari lima puluh tahun, kendati ditumpas dengan berbagai operasi kekerasan oleh Pemerintah Indonesia, tetap berjuang mengakhiri kolonialisme. Merekalah yang sekarang menolak model pembangunan kolonial, dan mencari alternatif pembangunan mereka sendiri. Merekalah yang mengalami berbagai persoalan penindasan dan ketidakadilan, diskriminasi dan perampasan sumber daya, dan melakukan usaha-usaha emansipasi.
Kendati diiming-imingi dengan uang dan jabatan lewat Otonomi Khusus (yang sebenarnya hanya merupakan bagian kecil dari kekayaan negara yang didapat dari Papua), mereka tetap ingin menjadi tuan rumah atas alam dan budaya mereka. Sebagian dari mereka memang memilih memakai peluang Otsus, baik untuk benar-benar memperbaiki situasi ketertindasan dan pemiskinan yang dialami masyarakat, maupun demi mengamankan kehidupan mereka sendiri. Tetapi Otsus ternyata tidak menyurutkan kehendak untuk tetapi menjadi Subjek politik dan ekonomi sendiri.
Dewasa ini, gerakan-gerakan emansipasi itu mengalami transformasi menjadi gerakan progresif damai berbasis pada mobilisasi massa, produksi pengetahuan, pengorganisasian diri, serta diplomasi.
Fokus perhatian mereka adalah mengakhiri kolonialisme yang mereka alami baik ketika berhadapan dengan Belanda maupun Indonesia. Pengalaman penderitaan akibat kekerasan, pembangunan, operasi militer, serta marginalisasi melahirkan kesadaran kolektif bahwa keselamatan, kesejahteraan, dan kebaikan mereka hanya akan dijamin dengan mengurus diri mereka sendiri sebagai bangsa merdeka.
Dari kalangan muda, lahir kelompok kritis yang dengan terang benderang mengerti kolonialisme lewat pembangunan Indonesia, dan yang menyingkap sejarah mereka, yang sudah dibelokkan Indonesia dan sekutunya di PBB.
Gerakan Papua Merdeka itu terus meluas dan diungkapkan baik secara terang-terangan maupun terselubung. Dan kendati organisasi-organisasinya beragam dan tidak sungguh-sungguh solid, mereka bergerak ke arah yang sama: menjadi bangsa merdeka.
Mereka tidak menampik tuduhan dari Indonesia bahwa mereka adalah separatis, dalam pengertian sebagai kelompok yang ingin memisahkan diri. Dan dalam argumen mereka, memisahkan diri dari Indonesia itu merupakan jalan memerdekakan diri dari kolonialisme yang terjadi dalam berbagai cara, mulai dari manipulasi proses dekolonisasi pada tahun 1963-1969 dan operasi-operasi militer setelahnya, sampai pada eksploitasi pembangunan kolonial, setter colonialism, rasisme dan stigmatisasi, dan pelanggaran hak asasi manusia sekarang ini.

Senjakala Kolonialisme
Dalam transformasi gerakan emansipasi Papua itu, serta dalam babak baru persoalan Papua di PBB, kita sedang menyaksikan senjakala kolonialisme. Segala hal buruk yang telah terjadi atas nama nasionalisme di Papua hendak diakhiri oleh orang Papua lewat jalan damai dan dalam mekanisme-mekanisme yang dimungkinkan secara internasional.
Di hadapan gerakan emansipasi rakyat Papua itu, nasionalisme Indonesia di Papua yang dibangun dengan kekuatan militer dan pembangunanisme selama limah puluh tahun mengalami ujian berat.
Operasi-operasi militer ternyata tidak berhasil meng-Indonesia-kan Papua. Pembangunan yang terus diperluas dan dipercepat pun, kendati membawa keuntungan berlipat ganda bagi ekonomi Indonesia dan para negara sekutu kapital, tidak dapat menyakinkan orang Papua bahwa mereka dapat hidup sejahtera, adil, dan makmur dalam NKRI. Indonesia yang mendapat kesempatan lebih dari lima puluh tahun membangun kehidupan bangsa yang sejahtera, adil, dan makmur di Papua justru dialami oleh rakyat Papua sebagai kekuatan kolonial.
Sebagian orang Indonesia barangkali tersentak bahwa kesatuan yang dikira kokoh ternyata begitu rapuh, persis ketika orang Papua dengan jujur mengakui bahwa mereka tidak merasakan solidaritas senasib-sepenanggungan dengan bangsa Indonesia.
Solidaritas senasib-sepenanggungan itulah yang sedang mereka bangun untuk mendapatkan jalan keluar atas berbagai persoalan yang mereka alami. Solidaritas itu pula lah yang mereka sedang galang dan dapatkan dari negara-negara Pasifik dan anggota PBB lain, untuk menyelesaikan masalah Papua secara bermartabat.[13]
Dalam babak baru persoalan Papua ini, tampaknya solidaritas itu menjadi salah satu kunci.
Apakah Indonesia akan mampu kembali merekatkan solidaritas dengan rakyat Papua yang sudah terluka raga dan hatinya? Apakah Indonesia akan mengambil langkah konkret mengubah kebijakan di Papua secara total sehingga meyakinkan orang Papua bahwa mereka tetap dapat merdeka, adil, dan makmur, dalam negara-bangsa Indonesia?
Apakah orang Papua sendiri akan berhasil menggalang solidaritas senasib-sepenanggungan di kalangan mereka sendiri, untuk sama-sama memperjuangkan nasib bersama mereka dalam hubungan dengan Indonesia dan bangsa-bangsa?
Apakah bangsa-bangsa Pasifik akan tetap bersama orang Papua di saat-saat sulit atau akan lebih tergoda dengan kerjasama politik dan ekonomi dengan Indonesia dan sekutu-sekutunya? Apakah solidaritas itu akan meluas ke negara-negara anti-kolonial di Afrika dan Latin Amerika; ataukah mereka tidak peduli?
Dan apakah bangsa-bangsa yang bergabung dalam PBB akan mendengarkan perjuangan orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri, atau akan sekali lagi mengkhianati mereka seperti pada tahun 1963-1969?
Di hadapan solidaritas itu, Indonesia sedang diuji. Yang jelas pendekatan militeristik akan memperburuk situasi HAM dan memicu solidaritas atas Papua. Percepatan dan perluasan pembangunan yang eksploitatif dan kolonial pun sudah ditentang oleh orang Papua, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bersilat-lidah dalam forum diplomatis, seperti yang dilakukan pada Sidang Umum PBB ke-71, September 2016, jelas tidak menolong siapapun dan tidak memperbaiki situasi riil di Papua.
Tidak ada pilihan rasional dan etis lain bagi Indonesia, selain memperbaiki diri secara sungguh-sungguh dan bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi di Papua.
Pada babak baru Papua di PBB, kita sedang menyaksikan rangkaian peristiwa penting dalam sejarah kolonialisme. Apakah kolonialisme di Papua akan berakhir dengan perubahan radikal dalam cara Indonesia bernegara di Papua atau akan berujung dengan lahirnya sebuah negara-bangsa baru, Papua Barat.?

Penulis adalah peneliti pada Insitute of Social Anthropology, Bern University, Switzerland; Menulis-Mengedit bukuParadoks Papua (2011) dan Papua Bercerita (2015).

—————

Analisis : Mengakhiri Lingkaran Kekerasan di Papua

Rangkaian kekerasan masih saja terjadi di bumi Papua. Sejak Juli ke Agustus, ada delapan peristiwa kekerasan dan bentrok di Papua. Pada 31 Juli lalu terjadi konflik antar warga terkait perebutan kekuasaan politik di kawasan Ilaga, Kabupaten Puncak Jaya. Akibat dari beberapa aksi kekerasan itu setidaknya 20 orang tewas menjadi korban.
Setelah rangkaian kekerasan dan bentrok itu mereda, bumi Papua kembali diramaikan oleh mencuatnya kasus pemogokan para pekerja PT Freeport Indonesia (PTFI). Mereka menuntut kenaikan upah akan mendekati standar upah par pekerja tambang khususnya pekerja tambang Freeport di belahan dunia lainnya khususnya yang di Amerika baik utara maupun selatan. Menejemen PTFI menolak tuntutan para karyawan tersebut. Akibat kebuntuan itu maka aksi mogok karyawan pun makin membesar dan meluar hingga akhirnya para karyawan memblokade jalan masuk ke PTFI.Namun dalam perkembangannya, aksi mogok itu menjadi aksi anarkis dan terjadi bentrok dengan aparat keamanan hingga akhirnya jatuh korban satu orang tewas. Masalah aksi mogok karyawan dan adanya kekerasan dan bentrok itu hingga kini belum bisa diselesaikan dengan tuntas.
Di luar itu, di Papua terjadi serangkaian kasus penembankan. Rangkaian kasus penembakan yang terjadi di Papua mengingatkan pada kasus serupa yang terjadi pada paruh kedua Juni lalu. Saat itu, lima orang tak dikenal mengeroyok Brigadir Satu M Yazin, anggota Kepolisian Pengawasan Pelabuhan dan Penyeberangan Udara Bandara Mulia. Pistol milik M Yazin dirampas. Salah satu perampas menembakkan pistol itu ke arah M Yazin. Meskipun terluka parah, M Yazin dapat diselamatkan. Sebelumnya, akhir Mei, anggota Komando Pasukan Khusus, Sersan Satu Kaman Nurjaman, ditembak seseorang ketika melintas di depan Pasar Distrik Ilu, Puncak Jaya (Kompas, 25/10).
Tanggal 10 Oktober terjadi bentrok antara polisi dan pekerja di kawasan PT Freeport Indonesia (PT FI) yang menewaskan satu orang, tiga mobil terbakar, dan sejumlah orang luka-luka. Empat hari kemudian, 14 Oktober lalu, terjadi penembakan terhadap mobil L-300 di areal PT FI di Mil 37-40 (Kilometer 59,2-64), yang menewaskan tiga orang. 
Tanggal 19 Oktober terjadi pembubaran paksa terhadap KRP III oleh aparat kerena Kongres berubah menjadi makar pendeklarasian Negara Federal Papua Barat. Ada 200-300 orang ditangkap oleh aparat. Sayangnya, dalam pembubaran paksa itu jatuh korban tewas dan terluka. Dalam catatan Komnas HAM ada enam orang tewas. Menurut ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim di Jakarta, Jumat (21/10), setelah kongres ditemukan enam mayat yang diduga korban pembunuhan. “Setelah peristiwa kekerasan tersebut, situasi di Papua menunjukkan intesitas kekerasan yang meninggi sehingga kami khawatir karena masih ada pengejaran terhadap orang-orang yang diduga aktivis OPM (Organisasi Papua Merdeka),” ujar Ifdhal. Ia mengungkapkan, enam mayat tersebut merupakan peserta Kongres Rakyat Papua ke III. Mereka ditemukan dalam kondisi mengalami luka tusuk. “Menurut catatan kami, enam orang mati dengan luka tikam, bukan tembakan, banyak orang terbunuh, mengikuti kongres tersebut,” jelas Ifdhal. Identitas ke enam mayat tersebut antara lain Daniel Kadepa, Maxsasa Yewi, Yacob Samansabra, Yosafat Yogi, dan James Gobay (Metrotvnews.com, 21/10). Namun beberapa LSM di Papua membantah korban tewas karena luka tikam. Mereka menyatakan bahwa korban tewas karena tembakan aparat.
Dua hari kemudian, Jumat (21/10), tiga orang tewas ditembak di Timika, Kabupaten Mimika, oleh kelompok orang tidak dikenal di lokasi pendulangan emas.
Berikutnya Kapolsek Mulia, Puncak Jaya, Papua, AKP Dominggus Oktavianus Awes, tewas setelah kepalanya ditembak dari jarak dekat oleh seorang dari dua pelaku penyerangan, sekitar pukul 11.30 WIT (Senin, 24/10) di bandara Mulia.
Besoknya (25/10) terjadi dua insiden penembakan di mile 38 dan mile 39 meski tidak ada korban.Polisi mengindentifikasi pelaku penembakan di mile 38 dan mile 39 diduga berasal dari kelompok yang sama dengan pelaku penembakan mobil L-300 yang menewaskan tiga penumpangnya di Mile 37 pada Jumat 14 Oktober lalu.
Akhirnya Organisasi Papua Merdeka (OPM)  mengaku sebagai pelaku aksi teror akhir-akhir ini di Papua, dengan tujuan Papua merdeka (Media Indonesia online , 28/10).
Terkait dengan skala asksi kekerasan di Papua seperti yang di kutip oleh Republika (21/10) Berdasarkan catatan Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Papua, setiap bulan terjadi tiga sampai empat tindak kekerasan di Papua.
Paling banyak pengaduan di luar Jayapura berasal dari Manokwari, Wamena, Paniai, dan daerah pegunungan maupun pesisir. Warga di sana sekalipun tidak menggelar kongres, namun ada soft war, seperti penunjukkan kekuatan dari aparat. “Misal unjuk senjata, mobil aparat, lalu lalang di jalan umum warga. Jadi warga ketakutan. Orang Papua itu cukup trauma,” Wakil Ketua Komnas HAM Papua Matius Murib saat konferensi pers di kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (21/10).
Matius mengungkap, mulai 2010 jumlah pengaduan dari warga sampai sekarang mencapai 42 kasus. Tidak seluruhnya penyiksaan, namun didominasi kasus kekerasan oleh aparat.
Kongres Rakyat Papua III
Pada 19 Oktober di gelar Kongres Rakyat Papua (KRP) III di Lapangan Zakeus, Padang Bulan, Abepura, Kota Jayapura. KRP III itu digagas oleh Kepemimpinan Kolektif Nasional Bangsa Papua Barat (KKNPB) melalui organisasi-organisasi di bawahnya merencanakan untuk menyelenggarakan Kongres Bangsa Papua III pada tanggal 16-19 Oktober 2011. Kongres tersebut bertema “mari kita menegakkan hak-hak dasar orang asli Papua di masa kini dan masa depan” yang ditengarai merupakan kongres penentuan hak-hak dasar orang Papua dengan agenda utama penyampaian pendapat di hadapan Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono. Para pemimpin kolektif di antaranya Edison Waromi, SH, Pdt. Herman Awom, S.Th, Forkorus Yaboisembut, S.Pd, Eliazar Awom, Drs. Alberth Kaliela dan Drs. Septinus Paiki.
Kongres tersebut didukung Presidium Dewan Papua, Yepena (Youth Papua National Authority), West Papua National for Leader Nation, dan Bintang 14 Melanesia Barat. Kongres Papua III sebagai lanjutan dari Kongres Papua II tahun 2000 yang juga membahas aspirasi murni dan hak-hak dasar orang asli Papua. Agenda kongres antara lain membicarakan soal kesejahteraan, hak masyarakat Papua, dan penataan Papua ke depan.
Pada saat pelaksanaannya sekitar 5000 orang turut mendatangi KRP III itu. Namun akhirnya KRP III ini dianggap melenceng dari ijin yang diberikan dan rencana yang dipaparkan. KRP III berakhir dengan pendeklarasian berdirinya Negara Federasi Papua Barat oleh Forkorus Yoboisembut. Negara Federasi Papua Barat di deklarasikan oleh Yaboisembut di akhir KRP III dengan Kepala Negera Forkorus Yaboisembut sendiri dan Edison Waromi sebagai Perdana Menteri. Forkorus bersama unsur pimpinan Negara Federasi Papua Barat saat menyatakan deklarasi berdirinya Negara Federasi Papua Barat, menyatakan: nama negara adalah Negara Federasi Papua Barat, lambang Negara Burung Mambruk, Bendera Kebangsaan bendera Bintang Fajar, lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua, mata uang Golden dengan bahasa nasional Vigin, melayu Indonesia lokal Papua serta bahasa Inggris. Setelah pembacaan pernyataan berdirinya Negara Federasi Papua Barat, unsur pimpinan Negara yang dipilih dalam KRP III, segera membahas asas asas negara Papua Barat serta Undang undang Negara.
Selpius Bobby, Ketua KRP III menyatakan, “Kami bangsa Papua Barat melalui forum tertinggi telah mendeklarsikan kembali deklarasi lembali proklamasi yang pernah dinyatakan oleh komite Nasional Papua tanggal 19 Oktober tahun 1961 dan hari ini genap 50 tahun, dimana 50 tahun bangsa Papua hidup mengembara dari episode ke episode dari jaman Untea Belanda hingga hari ini kami mau mengembalikan kedaulatan sejati yang pernah ada itu, komitmen kami bulat”.
KRP III bukan tanpa penolakan. Penolakan dinyatakan oleh Laskar Merah Putih, Forum Komunikasi NKRI, Barisan Merah Putih, Pemuda Panca Marga, Yon Serna Trikora RI, Gelora 45, LIRA dan Forum Kominkasi Putra Putri Penerus Pejuang Pembebasan Irian Barat RI. Selain menyatakan penolakan mereka juga menyatakan bahwa bergabungnya Papua ke RI melalui Pepera 1969 adalah sudah final dan tidak bisa diganggu gugat.
Penolakan juga datang dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB) baik melalui kepemimpinan pusat KNPB atau secara khusus dinyatakan oleh KNPB wilayah Timika. Dalam pernyataan KNPB Timika dinyatakan:
“Perjuangan rakyat Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri tidak sendirian. Diplomat rakyat Papua Barat telah berhasil membentuk dan melahirkan dua Media Internasional bagi Rakyat Papua Barat yaitu International Parliamentarian for West Papua (IPWP) pada tanggal 15 Oktober 2008 dan International Lawyer for West Papua (ILWP) pada 3 April 2009 dengan hasil yang gemilang.
Kini rakyat Papua Barat telah memiliki dua lembaga atau Organisasi standar Internasional, yang bergerak dalam bidang HUKUM dan POLITIK serta yang memiliki Visi dan Tujuan memperjuangkan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Bangsa Papua Barat. Bidang Hukum sudah hasilkan Empat Resolusi melalui Konferensi Tingkat Tinggi Internasional (KTTI), tanggal 2 Agustus 2011 di Kerajaan Inggris. Hasil Konferensi tersebut secara resmi sudah dideklarasikan. Tujuan utama Deklarasi ini adalah untuk melaksanakan tugas Vital IPWP dan ILWP dalam membawah masalah Papua Barat ke perhatian dunia Internasioan dan untuk mencari solusi-solusi yang damai dan Adil bagi penyelesaian konflik berkepanjangan dari ketidakadilan yang telah berlangsung selama 48 tahun ini.
Mengingat pentingnya dukungan Internasional tersebut, maka KNPB melalui Kongres Ke-I, telah memutuskan dan menetapkan untuk mulai memediasi Segenap Rakyat Papua Barat untuk memberi Dukungan melalui Aksi-aksi Damai dengan Pernyataan-Pernyataan Politik sebagai Kekuatan Hukum, melalui Jalur Hukum yaitu Menggugat Rekayasa PEPERA 1969 di Mahkamah Internasional dan Jalur Politik yaitu Mendorong Status Politik Papua melalui Sidang tahunan PBB. Untuk itu, KNPB seluruh Tanah Papua secara khusus KNPB Timika sedang mendorong dan menyelenggarakan agenda Pembentukan Parlemen Rakyat Daerah Timika [PRDT] di Timika sebagai suatu Lembaga politik Representatif bangsa Papua Barat yang harus dilahirkan.”
Jadi penolakan KNPB terhadap KRP III bukan karena tidak setuju dengan ide kemerdekaan Papua dari RI. Tetapi lebih pada cara dan metode yang digunakan dalam seperti melalui KRP dan pendeklarasian negara seperti yang terjadi pada KRP III itu.
Penolakan juga dilakukan Dewan Komando Revolusi TPN/OPM. Alasannya, karena Negara Federasi yang sesungguhnya dideklarasikan itu masih bagian dari  Republik  Indonesia, sehingga ditolak. Menurut Saul Bomay yang mengatasnamakan Dewan Komando Revolusi Militer, Negara Federasi yang ditawarkan dan diproklamasikan sesungguhnya berawal dari gagalnya Otsus Papua dan Otsus sesungguhnya menawarkan Negara Federasi, dan kelompok Dewan Komando Revolusi Militer TPN OPM menolak hasil kegagalan otsus yang ditawarkan dalam Negara Federasi,  selain menolak Federasi, Dewan Revolusi tetap mempertahankan Deklarasi 1 Juli 1971 yang diperingati sebagai hari proklamasi Kemerdekaan Republik Papua Barat secara defakto dan dejure  yang akan diperjuangkan secara Hukum Internasional.
Elemen Pro Kemerdekaan Papua
Paparan diatas memperlihatkan bahwa komponen yang mengusung kemerdekaan Papua dapat dibagi dari tiga kelompok. Ketiganya tidak berdiri sendiri dan terpisah satu sama lain. Sebaliknya, ketiganya bermain dalam satu tujuan yang sama dan berbagi tugas. Ketiga kelompok itu adalah: Pertama, elemen diplomatik di luar negeri untuk pengaruhi opini publik internasional. Kedua, elemen politik dalam negeri yang membentuk LSM-LSM atau organisasi menguatkan tuntutan referendum baik melalui berbagai demonstrasi, seminar atau aktifitas lainnya. Ketiga, elemen gerakan bersenjata, dalam hal ini hanya ada satu yaitu TPN/OPM (Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka). Selama ini TPN OPM inilah yang melakukan berbagai penyerangan dan kontak senjata di Papua, termasuk beberapa penyerangan pada akhir-akhir ini seperti yang diakui oleh OPM sendiri.TPN OPM juga dibagi dalam beberapa komando wilayah. Panglimanya sampai saat masih dipegang oleh Mathias Wenda.
Untuk elemen kedua, saat ini yang aktif adalah KNPB (Komite Nasionap Papua Barat) yang diketuai oleh Buchtar Tabuni. KNPB ini juga dibagi dalam beberapa wilayah. KNPB inilah yang pada Agustus lalu dan juga pada Agustus tahun lalu menggelar demonstrasi di beberapa kota mendukung penyelenggaraan seminar ILWP di Oxford Inggris. Elemen dalam negeri lainnya adalah elemen Kepemimpinan Kolektif Nasional Bangsa Papua Barat (KKNPB). Yang tergabung didalamnya diantaranya Presidium Dewan Papua, Yepena (Youth Papua National Authority), West Papua National for Leader Nation, dan Bintang 14 Melanesia Barat. KKNPB ini terlihat berbeda dengan KNPB (meski namanya mirip). KKNPB inilah yang menggelar KRP III dan mendeklarasikan Negara Federasi Papua Barat. Dari beberapa publikasi di media, terlihat berbagai pihak baik yang pro kemerdekaan Papua maupun kontra sama-sama curiga dan bertanya-tanya tentang KKNPB. Dan terkesan KKNPB dengan elemen-elemen di dalamnya agaknya memiliki agenda sendiri. Hanya kesamaannya dengan KNPB, TPN OPM dan elemen diplomatik luar negeri adalah keinginan merealisasi kemerdekaan Papua.
Elemen diplomatik luar negeri, saat ini secara garis besar melalui dua organisasi yaitu ILWP (International Lawyer for West Papua). Menurut klaim di dalam ILWP telah bergabung minimal 50 lawyer internasional. Dan IPWP (International Parliament for West Papua). Keduanya bermarkas di Eropa khususnya Inggris. Keduanya diinisiasi dan dimotori oleh organisasi yang di pimpin oleh Beny Wenda yaitu FWPC (Free West Papua Campaign). ILWP dan IPWP inilah yang diber mandat TPN/OPM dan didukung oleh KNPB untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua melalui internasionalisasi masalah Papua dan mendorong PBB untuk membahasnya baik dalam Majelis Umum atau dalam Komite Kolonialisasi.
ILWP inilah yang pada agustus lalu mengadakan konferensi di Inggris tentang kemerdekaan Papua untuk mengangkat masalah kemerdekaan Papua di tingkat Internasional. Konferensi itu  diselenggarakan di East School of the Examination Schools, 75-81 High Street, Oxford. Tema yang diusung adalah tentang kemerdekaan Papua : “West Papua ? The Road to Freedom”.  Diantara pembicaranya adalah John Saltford, akademisi Inggris pengarang buku “Autonomy of Betrayal”, Benny Wenda pemimpin FWPC yang tinggal di Inggris, Ralph Regenvaru, Menteri Kehakiman Vanuatu, saksi Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 Clement Ronawery dan Anggota Ahli Komite PBB untuk Pengurangan Diskriminasi terhadap Perempuan Frances Raday. Sementara dari Provinsi Papua telah diundang untuk berbicara melalui video-link di konferensi tersebut yaitu Dr. Benny Giay dan Pendeta Sofyan Yoman. Sebelumnya media juga mengungkap bagaimana peran Asing memanaskan bumi papua sebut saja  antara mereka senator Partai Demokrat AS Dianne Feinstein, Uskup Agung Desmond Tutu, anggota parlemen Inggris dari partai Buruh Andrew Smith serta mantan pemimpin Papua Nugini Michael Somare. “Mereka adalah beberapa dari sekelompok besar orang yang bersekutu menuntut Papua Merdeka. Media-media yang berbasis Australia banyak mengungkap dan mengklaim  memiliki  dokumen gerakan sparatais dan  mendukung gerakan Papua Merdeka. Seperti nama beberapa senator Amerika, Anggota Parlemen Selandia Baru, Anggota Kongres Amerika Serikat, Jaringan NGO Asing, Anggota Parlemen Irlandia, Anggota Parlemen Eropa, Anggota Parlemen Inggris, hingga jurnalis asing di Papua. Acara yang sama pernah berlangsung tahun lalu juga diadakan di Inggris.
Catatan lainya pada 25 Oktober 2000, Direktur Lembaga Study dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua, John Rumbiak menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Greg Sword, anggota parlemen tingkat negara bagian Melbourne dari Partai Buruh, yang intinya mereka mendukung setiap gerakan separatis Papua –sekedar catatan, ELSHAM ini konon diantaranya didanai oleh USAID-. Dan Sejak tahun 2000, Bob Brown dari partai Hijau dan senator aktif memotori terbentuknya Parliamentary Group on West Papua. Pada 2003, Bob mengkampanyekan masuknya beberapa submisi kepada parlemen Australia dengan mengangkat pelurusan sejarah Irian Jaya dan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Irian Jaya. Ada juga Senator Kerry Nettle dari Partai Hijau terlibat memperjuangkan suaka politik bagi 42 warga Papua. Bahkan, pada 2 April 2006 Nettle mendapatkan penghargaan “Mahkota Papua” dari kelompok pro-separatis di Sydney.   Selain itu ada juga, Senator Andrew Barlet dari Partai Demokrat Australia, ia mendukung kampanye penentuan nasib (self determination) bagi rakyat Irian Jaya. Barlet juga pernah mengirimkan surat kepada Sekjen PBB untuk meninjau kembali keabsahan Pepera 1969.
Parliamentary Group on West Papua yang dimotori oleh Bob Brown juga didukung oleh organisasi internasional seperti Asia Pacific Human Rights Network (APHRN), West Papua Action Australia (WPA-A), Action in Solidarity With East Timor (ASIET), Australian Council for Overseas Aid (ACFOA), East Timor Action Network (ETAN) dan The Centre for People and Conflict Studies The Unversity of Sydney. Lembaga yang terakhir itu memiliki proyek yang disebut West Papua Project (WPP) dan dipimpin oleh Prof Stuart Rees, seorang peneliti dan penulis tentang Indonesia.  Prof Denis Leith juga turut memberikan dukungan terhadap pro kemerdekaan Papua dengan cara membantu penggalangan dana bagi WPP. Upaya itu secara lebih masif pernah terjadi pada tahun 2006. Pada tahun 2005, anggota Kongres AS pernah mempermasalahkan proses bergabungnya Irian Barat (Papua) pada Indonesia.
Yang paling akhir dalam forum Pasific Islands Forum yang ke-42 di Auckland Selandia Baru, sebanyak 18 NGO asing mendukung kemerdekaan Papua dan mendesak agar masalah Papua dijadikan salah satu agenda bahkan mendesak PBB. NGO-NGO itu antara lain : New Zealand non-governmental organisations Bicultural Desk of the Auckland Catholic Diocese, Caritas Aotearoa New Zealand, Christian World Service, CORSO Inc., Indonesia Human Rights Committee (?), Pax Christi Aotearoa New Zealand, Peace Movement Aotearoa, Philippine Migrant Centre, and the Women’s International League for Peace and Freedom, Aotearoa Section; New Zealand based Coalition for Democracy in Fiji; and Australian non-governmental organisations Australia West Papua Association (Sydney), Institute of Papuan Advocacy and Human Rights,  Medical Association for Prevention of War, Missionaries of the Sacred Heart Justice and Peace Centre (Australian Province), Pax Christi Australia and the Women’s International League for Peace and Freedom, Australia Section.
Selain itu juga ada pemimpin Partai Mana Hone Harawira dari Selandia Baru. Pada forum tersebtu Hone juga mendesak sekjen PBB terkait nasib Papua.
Dalam forum tersebut di bagian akhir acara forum diadakan tanya jawab dengan sekjen PBB. Ada pertanyaan yang diajukan: With regards to human rights – for more than forty two years, there’s a struggle in West Papua as people seeking their government in the province of West Papua. What is the United Nations stand on that? (Source Question UN).
Sekjen PBB Ban Ki-Moon menjawab:  This issue should also be discussed at the Decolonisation Committee of the United Nations General Assembly. And when it comes again, whether you are an independent state or a non-self-governing territory or whatever, the human rights is inalienable and a fundamental principle of the United Nations. We will do all to ensure that people in West Papua, their human rights will be respected. – Isu ini seharusnya dibicarakan d dalam komite dekolonisasi Majelis Umum PBB. Dan hal itu datang kembali, apakah anda (Papua Barat) merupakan pemerintahan merdeka atau merupakan territorial tanpa pemerintahan sendiri, atau apapun, HAM adalah satu hal yang tidak dapat diganggu gugat dan merupakan prinsip dasar PBB. Kami akan melakukan segala upaya untuk meyakinkan masyarakat Papua Barat bahwa hak-hak asasi manusia mereka akan dihormati-.
Pernyataan sekjen PBB ini diantaranya yang diinterpretasikan sebagai bentuk dukungan untuk kemerdekaan Papua. Dan hal itu menyemangati diselenggarakannya KRP III yang kemudian menyebabkan peningkatan eskalasi situasi keamanan dan politik di Papua.
Penanganan Yang Salah
Banyak peneliti termasuk dari LIPI yang berusaha menguak apa akar masalah di Papua. Dari berbagai upaya itu sperti yang dicatat oleh TB Hasanudin anggota DPR Komisi I, ada empat point akar masalah di Papua. Pertama, adanya marjinalisasi dan diskriminasi terhadap masyarakat asli Papua akibat sikap elit dan keputusan politik Jakarta. Kedua, ada kegagalan pembangunan khususnya di bidang ekonomi masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan. Ketiga, ada perbedaan persepsi tentang sejarah Papua atau Irian antara masyarakat Papua dengan persepsi masyarakat di luar Papua terutama soal Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang disponsori Persatuan Bangsa Bangsa dan Amerika Serikat yang menurut sebagian rakyat Papua tidak sah. Keempat, ada trauma berkepanjangan sejak 1966 sampai selama Orde Baru berkuasa akibat operasi militer. Dan trauma itu tidak kunjung hilang di era reformasi walau TNI sudah tidak lagi menggelar operasi militer.
Namun penanganan rangkaian kekerasan dan masalah di Papua justru tidak menyentuh akar masalah itu. Terjadi ketidakkonsistenan dalam menangani masalah yang terjadi di Papua.
Terkait aksi kekerasan yang terjadi di Papua, apa yang dilakukan oleh OPM dengan menembak aparat keamanan (Kapolsek Mulia, anggota Brimob, anggota Kopasus, patroli dan pos/markas kepolisian, juga masyarakat sipil) jelas merupakan teror dan menciptakan suasana teror di masyarakat. Namun demikian aksi-aksi teror itu tidak pernah disebut sebagai aksi terorisme.Sebaliknya, jika yang melakukan adalah Muslim meski dengan tingkat yang jauh lebih kecil dari itu, misal dengan tingkat ledakan mercon, niscaya disebut terorisme.
Inkonsistensi yang kedua, jika yang ada dinilai sebagai gangguan keamanan, maka semestinya yang dilakukan adalah pendekatan kriminal. Dan karena yang melakukan adalah kelompok bersenjata yang melakukan semacam taktik perang gerilya, mestinya yang lebih tepat adalah dilakukan operasi khusus, dengan mengirimkan semacam pasukan khusus, dalam grup kecil, dengan tugas khusus memburu kelompok bersenjata itu.
Akan tetapi yang lebih dikedepankan dan lebih ditonjolkan oleh pemerintah adalah pendekatan militer.Yaitu dengan menggelar kekuatan pasukan dalam jumlah besar, baik dari Brimob maupun TNI. Begitu juga dengan meningkatkan aktifitas yang justru memperkuat kesan sedang dilakukan gelar pasukan, misalnya kendaraan militer yang sering lalu lalang di kawasan pemukiman. Semua itu pada akhirnya justru memperkuat kesan dan suasana psikologis di masyarakat bahwa sedang dilakukan operasi militer dan Papua seolah-olah berubah menjadi daerah operasi militer. Tentu saja hal itu justru memperkuat dan memperdalam trauma yang selama ini sudah terbentuk dengan kuat.
Kesan itu makin dalam ketika pendekatan dalam menangani aksi massa seperti dalam kasus pembubaran KRP III tidak dilakukan dengan pendekatan sipil, tetapi lagi-lagi menggunakan pendekatan militer, menggunakan peluru tajam. Tindakan aparat pun terkesan berlebihan. Hal itu tampak dengan penangkapan hingga 300 orang. Sulit diterima jika kegiatan seperti KRP III itu dimotori sedemikian banyak orang. Logisnya yang menjadi motor hanyalah belasan orang atau paling banyak puluhan orang. Disamping itu tindakan yang dilakukan aparat juga terkesan tidak selektif.Indikasinya adalah korban tewas kebanyakan adalah orang yang tidak termasuk motor dari aksi itu.
Sementara penggelontoran triliunan rupiah dana Otsus ternyata juga tidak merubah kondisi menjadi lebih baik. Sebab gelontoran dana Otsus itu ibaratnya dituangkan dalam cawan berlobang dan lalu digelontorkan melalui pipa yang bocor. Dana itupun akhirnya habis dijalan. Dana itu akhirnya menjadi obyek bancakan dan foya-foya para elit di Papua. Sementara yang sampai ke masyarakat sangat kecil jika tidak bisa dikatakan tidak ada. Dalam hal ini pemerintah lupa memberesi infrastruktur politik dan membersihkannya sehingga gelontoran dana otsus itu benar-benar akan sampai tujuan. Lebih parah lagi, gelontoran dana besar itu tidak diikuti dengan penyiapan program pembangunan yang baik dan memperhatikan pemerataan dan keadilan. Akibatnya dana itu justru lebih banyak digunakan dalam proram-program demi kepentingan politik elit di Papua, seperti dalam kontek pertarungan Pilkada, dsb.
Jika masalah ini tidak diatasi tuntas, maka gelontoran dana Otsus akan terus “sia-sia”. Padahal dana Otsus Papua untuk tahun 2012 seperti tertuang di APBN 2012 mengalami kenaikan 23 %. Di dalam APBN 2012 dialokasikan dana otsus untuk Provinsi Papua sebesar Rp 3,83 triliun dan Papua Barat sebesar Rp 1,64 triliun. Pemerintah juga mengalokasikan dana tambahan infrastruktur untuk Papua sejumlah Rp 571,4 miliar dan Papua Barat sebanyak Rp 428,6 miliar. Jika dihitung sejak 2002 hingga 2010, jumlah dana Otsus yang sudah digelontorkan mencapai Rp 28,84 triliun. Semestinya dana sebesar itu sudah banyak membawa pengaruh bagi perbaikan kondisi masyarakat Papua.
Masalah menonjol yang menjadi pemicu berbagai permasalahan di Papua adalah tidak adanya pendistribusian kekayaan alam yang ada di wilayah mereka untuk membangun dan memajukan Papua dan meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua. Akhirnya dikembangkan asumsi di kalangan sebagian masyarakat Papua, bahwa semua itu terjadi karena yang memerintah dan mengelola semua itu bukan orang asli Papua. Jika Papua diperintah dan kekayaannya diatur oleh orang Papua sendiri, atau jika mereka bisa menentukan kebijakan pengelolaan wilayah mereka sendiri, maka dianggap semua itu akan berubah total, kemajuan akan bisa diujudkan di Papua dan taraf hidup masyarakatnya pasti meningkat.
Masalah pengelolaan kekayaan alam dan pendistribusian kekayaan yang tidak merata dan tidak memberikan kesejahteraan bagi rakyat di wilayah tempat kekayaan alam itu berada sebenarnya bukan karena yang mengelola atau menentukan kebijakan adalah bukan orang Papua. Kalaupun ditentukan oleh orang Papua sendiri juga belum tentu menyelesaikan masalah. Buktinya, Dana Otsus saja yang pengelolaannya diserahkan kepada orang-orang yang Papua toh juga tidak memberikan perbaikan bagi kehidupan masyarakat. Disamping itu masalah ketimpangan pendistribusian kekayaan itu bukan khas masalah Papua. Masalah itu juga dialami oleh semua wilayah negeri ini, bahkan yang di pulau Jawa sekalipun yang dinilai kebijakannya ditentukan oleh orang jawa juga. Daerah Cepu, Cikotok, Indramayu dan lainnya yang disitu minyaknya disedot dan atau emasnya dikeruk, masyarakatnya juga tidak bisa menikmati hasil dari kekayaan alam di wilayah mereka itu. Banyak masyarakat di daerah itu yang masih didera kemiskinan dan keterbelakangan.
Masalah itu sebenarnya lebih disebabkan oleh sistem dan kebijakan pengelolaan perekonomian ala kapitalis yang menyerahkan kekayaan alam itu kepada swasta dan terutama asing. Sehingga pihak swasta asing itulah yang paling menikmati hasil dari kekayaan yang merupakan milik rakyat negeri ini secara keseluruhan itu. Maka selama pengelolaan kekayaan alam masih menggunakan model ekonomi kapitalisme maka keadaan ketidakadilan ekonomi semacam itu akan terus terjadi. Kekayaan negeri tatap tidak akan terdistribusi secara merata. Kesenjangan akan tetap menganga. Karena itu kemerdekaan bukanlah solusi untuk menghilangkan ketidakadilan ekonomi itu. Malah kemerdekaan bisa menjadi pintu yang lebih lebar bagi penetrasi lebih pengelolaan ekonomi menurut model kapitalisme. Apalagi jika kemerdekaan itu atas belas kasihan (bantuan) asing, dalam hal ini misalnya Inggris atau eropa pada umumnya dan Australia. Dengan mereka keberadaan AS dengan perusahaan multinasionalnya tidak serta merta bisa diakhiri, sebaliknya dengan merdeka justru membuka ruang bagi masuknya kepentingan Inggris (Eropa) dan Australia. Itu artinya dengan merdeka, justru Papua justru makin menjadi jarahan pihak asing. Dan hampir dapat dipastikan bahwa model pengelolaan ekonominya juga akan tetap model kapitalisme dan karenanya penjarahan kekayaan bumi Papua nantinya justru akan makin merajalela.
Berbagai masalah kekerasan atau kejahatan lingkungan juga tidak akan serta merta bisa dihilangkan dengan memerdekakan diri. Sebab semua itu terjadi seiring dengan penerapan sistem kapitalisme dan penguasaan korporasi-korporasi raksasa asing atas kekayaan alam dan karena keberadaan koporasi-korporasi asing itu, yang di Papua terutama adalah penguasaan dan keberadaan PTFI. Padahal dengan merdeka keberadaan Freeport tidak dengan sendirinya hilang. Justru dengan merdeka akan terbuka peluang bagi Freeport untuk memperpanjang eksistensinya di bumi Papua dengan jalan melakukan negosiasi dengan pemerintah baru dan memberikan keuntungan yang diminta terutama kepada pribadi-pribadi pejabatnya. Bahkan dengan memerdekakan diri justru terbuka peluang bagi masuknya pihak asing seperti Freeport lebih banyak lagi.
Islam Solusi Total Masalah Papua
Masalah Papua seperti halnya masalah daerah-daerah lainnya bahkan masalah seluruh negeri kaum muslim, tidak pernah bisa dituntaskan dibawah sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini. Masalah itu hanya akan bisa dituntaskan dengan penerapan syariah Islam secara total.
Dalam hal pengelolaan ekonomi dan kekayaan, Islam menetapkan bahwa kekayaan alam yang berlimpah depositnya seperti tambang tembaga dan emas di Papua yang saat ini dikuasai Freeport, ditetapkan sebagai hak milik umum seluruh rakyat tanpa kecuali. Kekayaan itu tidak boleh dikuasakan atau diberikan kepada swasta apalagi swasta asing. Kekayaan itu harus dikelola oleh negara mewakili rakyat dan hasilnya keseluruhannya dikembalikan kepada rakyat, diantaranya dalam bentuk berbagai pelayanan kepada rakyat. Maka dalam pandangan sistem Islam ketika diterapkan, kekayaam alam seperti yang dikelola oleh Freeport dan lainnya itu akan dikembalikan menjadi kekayaan hak milik umum. Negara haus mengelolanya dengan pengelolaan demi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat bukan para pejabat dan kroninya, pengelolaan yang berkelanjutan tanpa menimbulkan kerusakan dalam berbagai bentuknya.
Kemudian hasil dari pengelolaan berbagai kekayaan alam itu ditambah dair sumber-sumber pemasukan lainnya akan dihimpun di kas negara dan didistribusikan untuk membiayai kepentingan pembangunan dan pelayanan kepada rakyat. Dalam hal pendistribusian itu, yang dijadikan patokan adalah bahwa setiap daerah akan diberi dana sesuai kebutuhannya tanpa memandang berapa besar pemasukan yang berasal dari daerah itu. Dalam hal menetapkan besaran kebutuhan itu, maka yang menjadi patokan adalah kebutuhan riil mulai dari yang pokok lalu ke yang pelengkap dan seterusnya.Dalam hal itu juga akan diperhatikan masalah pemerataan dan kemajuan semua daerah. Sebab Islam mewajibkan negara untuk menjaga keseimbangan perekonomian agar kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang kaya atau di kalangan tertentu atau di daerah tertentu saja.
Dalam hal perlakuan kepada rakyat, maka Islam mewajibkan berlaku adil kepada seluruh rakyat bahkan kepada semua manusia. Dalam Sistem Islam tidak boleh ada deskriminasi atas dasar suku, etnis, bangsa, ras, warna kulit, agama, kelompok dan sebagainya dalam hal pemberian pelayanan dan apa yang menjadi hak-hak rakyat. Islam pun mengharamkan cara pandang, tolok ukur dan kriteria atas dasar suku bangsa, etnis, ras, warna kulit dan cara pandang serta tolok ukur sektarian lainnya.Islam menilai semua itu sebagai keharaman dan hal yang menjijikkan. Bahkan dalam Islam, siapa saja yang menyeru, membela atau berperang dan mati demi ashabiyah (sektarianisme) maka dia tidak termasuk umat Muhammad dan neraka menjadi tempat yang lebih layak untuknya. Hal ini menjadi salah satu faktor yang mengikis deskriminasi di masyarakat dan mewujudkan keharmonisan di tengah masyarakat.
Sementara itu dalam hal kerusakan lainnya, Islam menetapkan bahwa penguasa adalah ra’in (pemelihara) urusan rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat atas sejauh mana terpeliharanya urusan-urusan dan kepentingan-kepentingan rakyat. Maka konsekuensinya adalah segala hal apalagi kebijakan yang berpotensi merugikan kepentingan rakyat maka harus di selesaikan dan dihilangkan. Itu artinya segala kebijakan dan praktek yang berpotensi menimbulkan kerusakan baik lingkungan, sosial, kesehatan, dan sebagainya harus dihentikan dan dihilangkan. Apalagi Islam dengan tegas mengharamkan segala bentuk kerusakan dan pembuat kerusakan di muka bumi atau mufsidun diancam dengan siksa neraka.
Untuk menjamin agar sistem Islam itu berjalan secara konsekuen dan konsisten maka Islam membuka ruang selebar-lebarnya bagi masyarakat secara individual ataupun kelompok untuk mengoreksi dan menyampaikan kritik kepada penguasa. Bahkan Islam menetapkan koreksi dan kritik kepada penguasa itu sebagai kewajiban. Kemudian jika penguasa dan aparat negara melakukan kezaliman atas rakyat baik individu maupun kelompok apalagi komunitas, maka rakyat secara individual ataupun kelompok diberi ruang yang luas untuk mengadukan dan memperkarakan kezaliman itu kepada Mahkamah Mazhalim agar kezaliman itu segera dihilangkan. Bandingkan dengan sistem kapitalisme demokrasi bahkan yang dipraktekkan di negara kampiun demokrasi sekalipun, adalah langka rakyat apalagi secara individual bisa memperkarakan dan menuntut penguasa apalagi kepala negara ke muka pengadilan. Apalagi di dalam sistem kapitalisme demokrasi yang dipraktekkan di seluruh dunia saat ini, rasanya tidak ada badan semacam Mahkamah Mazhalim seperti yang ada di dalam Sistem Islam yang terus ada untuk menghilangkan segala bentuk kezaliman negara dan penguasa atas rakyat. Yang ada di dalam sistem kapitalisme demokrasi adalah para pejabat dan penguasa menjadi kelas yang nyaris tak bisa disentuh oleh hukum.
Jadi menyelesaikan masalah Papua dan daerah-daerah lain, adalah dengan menghilangkan kezaliman dan ketidakadilan yang terjadi; mengelola kekayaan negeri demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat; mendistribusikan kekayaan itu secara merata dan berkeadilan; memberikan keadilan kepada semua tanpa deskriminasi atas dasar suku, etnis, warna kulit, ras, agama, kelompok dan cara pandang dan kriteria sektarian lainnya. Juga dengan mewujudkan pemerintah yang bisa menjalankan semua itu, pemerintah yang betul-betul berperan sebagai ra’in pengatur dan pemelihara segala urusan dan kemaslahatan rakyat. Dan tunuk itu masyarakat harus memiliki peluang dan diberi ruang untuk mengoreksi penguasa jika terjadi kebengkokan sehngga bisa dijamin pelaksanaannya secara konsekuen dan konsisten. Semua itu hanya bisa diujudkan melalui penerapan Sistem Islam secara total dalam bingkai institusi kekuasaan yang islami yaitu al-Khilafah Rasyidah. 
(YAHYA ABDURRAHMAN ; LS-HTI)