Jumat, 18 November 2016

Pengamanan PILKADA Serentak 2017 dan Aksi Anti Penista Agama (kasus Ahok) Dikelola Negara Untuk Kepentingan Militerisasi Indonesia di West Papua

Opini ;
Oleh - MATA RAKYAT

Pengamanan PILKADA Serentak 2017 dan Aksi Anti Penista Agama (kasus Ahok) Dikelola Negara Untuk Kepentingan Militerisasi Indonesia di West Papua
Berbagai Peristiwa Kejahatan Negara Terhadap Rakyat Papua

Mencermati dinamika politik Indonesia kususnya di Tahun 2016, berbagai pernyataan elit negara Indonesia baik sipil, kepolisian maupun militer tentang situasi negra hanyalah bagian dari penggiringan opini publik terhadap situasi sesungguhnya yang sedang terjadi.

Sejak Tahun 2015, perkembangan isu West Papua yang kian gencar dikampanyekan di level regional dan internasional, terlebih setelah diterimanya ULMWP sebagai observer di forum MSG, Indonesia berupaya melokalisir isu West Papua. Dalam konteks nasional Indonesia, isu West Papua benar - benar jauh dari pengetahuan rakyat indonesia. Kendatipun demikian, upaya pemerintah Indonesia untuk membungkam isu West Papua semakin sulit di saat MSG berkomitmen menetapkan keanggotaan penuh bagi ULMWP dan PIF menyepakati penangan konflik West Papua Vs Indonesia kepada mekanisme PBB. Dan sikap PIF ini tebukti dengan diangkatnya isu West Papua oleh 7 negara Pasifik pada Sidang Umum PBB September 2016.

Agar elit negara bisa tetab membungkan isu West Papua dari pandangan publik, maka dirumuskan beberapa isue dan skenario guna pengalihan opini publik nasional dan internasional. Secara internal, kepolisian dan militer disiagakan ( baca : http://www.beritakita.id/20760/news/waduh-jokowo-kumpulkan-tni-dan-polri-tanda-negara-siaga-satu/ ). Berdalih penangan keamanan PILKADA, kepolisian dan militer disiagakan, terutama konsentarasi wilayah West Papua. Berbagai operasi cipta konflik horizontal dilakukan untuk melegitimasi mobilisasi kepolisian dan militer ke West Papua ( contoh konflik Manokwakri diantara berbagai kasus lainnya diseluruh wilayah west papua http://tabloidjubi.com/artikel-1244-tentang-insiden-manokwari-wiranto--itu-kapan-saja-bisa-terjadi.html).

Tidak cukup samapai disitu, opini publik nasional dan internasional digiring pula melalui propaaganda penistaan agama. Mencermati aksi Jilid I 14 Oktober 2016, aksi Jilid II 4 November 2016, dan rencana aksi jilid III 25 November 2016, maka tergambar alur kepentingan negara dalam pengalihan opini publik dari isu West Papua, antara lain :

@ Aksi Jilid I 14 Oktober 2016, publik nasional dan internasional disuguhkan opini penistaan agama dan bahaya gerakan radikal (ISIS), sedang di sisi lain :

# tanggal 14 Oktober 2016 presiden RI melantik menteri dan wakil mentri ESDM yang sesungguhnya patut dipertanyakan oleh rakyat indonesia
# tanggal 14 Oktober 2016 dilakukan Seminar Nasional Papua Road Map Jilid - II
# tanggal 14 Oktober 2016 KOMNAS HAM Indonesia mengirim laporan HAM indonesia ke PBB yang tertunda sejak tahun 2010 untuk kepentingan UPR

@ Aksi Jilid II 4 November 2016, publik nasional dan internasional disuguhkan opini penistaan agama dan bahaya gerakan radikal (ISIS), sedang di sisi lain :

# tanggal 6 - 8 November 2016, presiden Indonesia dijadwalkan menghadiri beberapa forum bilateral dan regional di Australia, yang bertujuan membahas berbagai isu bilateral dan regional, diantaranya isu west papua di Pasifik. Pada akhirnya presiden Indonesia membatalkan kunjungan tersebut dengan dalih keamanan negara pasca aksi jilid II tanggal 4 November 2016.

@ Aksi Jilid III 25 November 2016, publik nasional dan internasional disuguhkan opini penistaan agama dan bahaya gerakan radikal (ISIS), sedang di sisi lain :

# aksi Jilid III yang direncanakan tanggal 25 November 2016, bahkan belakangan disebut tanggal 2 Desember 2016, ternyata Indonesia akan mendapat kunjungan Pedana Menteri Belanda yang direncakan berkunjung ke indonesia 21 - 24 November 2016.

Berkilas dari histori operasi intelegen Indonesia, maka jelas, konsep operasi intelegen Indonesia warisan Ali Moertopo begitu kental mengalir dan dipraktekan oleh penerusnya saat ini. Berbagai komponen rakyat diprovokasi, suku, ras, bahkan agama dipolitisir - dibenturkan demi kepentingan harta, jabatan dan status quo kekuasaan.

Target Militerisasi :

1. Bungkam ruang demokrasi
2. Hancurkan perjuangan rakyat sipil
3. Langgengkan status quo kekuasaan


h


Minggu, 06 November 2016

Laporan YALE UNIVERSITY - MEMBUKTIKAN Pembunuhan massal DI PAPUA BARAT

KESIMPULAN
Sejak Indonesia menguasai Papua Barat, orang-orang Papua Barat telah menderita pelanggaran terus-menerus dan mengerikan di tangan pemerintah. Militer dan pasukan keamanan Indonesia telah terlibat dalam kekerasan yang meluas dan pembunuhan di luar hukum di Papua Barat.
Mereka telah mengalami laki-laki dan perempuan Papua untuk tindakan penyiksaan, penghilangan, pemerkosaan, dan kekerasan seksual, sehingga menyebabkan tubuh serius dan membahayakan jiwa. eksploitasi sumber daya yang sistematis, penghancuran sumber daya Papua dan tanaman, wajib (dan sering terkompensasi) tenaga kerja, program transmigrasi, dan relokasi paksa telah menyebabkan kerusakan lingkungan meresap ke wilayah tersebut, merusak praktek subsisten tradisional, dan menyebabkan penyakit luas, kekurangan gizi, dan kematian antara orang Papua Barat.
tindakan seperti itu, secara keseluruhan, tampaknya merupakan pengenaan kondisi kehidupan dihitung untuk membawa kehancuran Papua Barat. Banyak dari tindakan ini, secara individu dan kolektif, jelas merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah hukum internasional. Selanjutnya, Papua Barat, obyektif, dan di mata penganiaya Indonesia mereka, tampaknya merupakan sebuah kelompok seperti yang didefinisikan oleh Pasal II Konvensi Genosida.
Dalam analisis akhir, apakah jumlah tindakan yang dilakukan oleh orang Indonesia terhadap orang Papua Barat naik ke tingkat genosida ternyata sebagian besar pada pertanyaan apakah tindakan ini dilakukan dengan mens rea diperlukan atau maksud untuk menghancurkan kelompok Papua Barat. Jelas, beberapa pelaku genosida meninggalkan catatan yang jelas tentang maksud mirip dengan pernyataan eksplisit Hitler niat untuk menghancurkan orang-orang Yahudi atau hati-hati meletakkan rencana pemerintah Hutu Rwanda untuk membersihkan Rwanda dari semua etnis Tutsi.
Biasanya, niat harus disimpulkan dari tindakan pelaku ', dianggap sebagai keseluruhan, bersama dengan bukti lain yang tersedia bahwa kelompok korban ditargetkan seperti itu. Dalam kasus Papua Barat, setiap inferensi seperti selalu tetap tentatif mengingat kesulitan dalam pengadaan data kualitatif atau kuantitatif komprehensif tentang pelanggaran hak asasi manusia Indonesia di Papua Barat, dulu dan sekarang. Namun, bukti-bukti sejarah dan kontemporer ditetapkan di atas sangat menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah melakukan perbuatan terlarang dengan tujuan untuk menghancurkan orang Papua Barat seperti, melanggar 1948 Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida dan adat larangan hukum internasional konvensi ini mewujudkan.